Ribuan warga memadati kampus pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Jl Denai, Medam Denai, Medan, Rabu (31/1). Mereka datang untuk melihat langsung fenomena super “Super-Blue-Blood Moon”.
“Dari data panitia yang kami peroleh lebih kurang ada 5000 yang hadir di sini untuk melihat gerhana bulan ini,” kata Rektor UMSU, Dr. Agussani MAP, di Medan, Rabu (31/1).
Agussani pun menyambut positif tingginya antusiasme warga Medan untuk menyaksikan gerhana bulan total. Menurut dia, kegiatan ini merupakan bagian dari program Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU untuk memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Edukasi ini kami berikan kepada masyarakat untuk mengetahui ciptaan Allah SWT yang sangat sempurna,” kata dia.
Warga mulai berdatangan ke kampus UMSU sejak sore hari. Tak hanya teleskop yang disediakan di sana. Panitia juga memfasilitasi umat Islam yang ingin menunaikan shalat Maghrib dan Isya berjamaah di pelataran kampus. Usai shalat Isya, ratusan umat Islam pun kembali melanjutkan ibadah dengan shalat sunat gerhana berjamaah.
“Alhamdulillah banyak warga yang datang ke sini, walaupun gerhana bulan tidak terlihat dengan sempurna tadi,” ujar Agussani.
Sementara itu,Kepala OIF UMSU Arwin Dr. Juli Rakhmadi Butar-butar mengatakan, fenomena “super blue blood moon” hanya terjadi sekali dalam waktu lama, bahkan bisa mencapai ratusan tahun. Sayangnya, kali ini, gerhana bulan total tidak terlihat jelas di Medan karena cuaca tidak mendukung.
Dikatakan Super-moon, lanjutnya, dikarenakan orbit bulan lebih dekat dengan bumi, sehingga tampakannya lebih dekat 14 persen fan tingkat kecerahannya bertambah 30 persen. “Dengan catatan cuaca cerah, tidak mendung atau hujan,” ujarnya.
Sedangkan Blue-moon,kata Arwin, adalah istilah ini populer dikalangan netizen, yaitu satu momen ketika dimana dalam satu bulan masehi terjadi dua kali purnama. “Di bulan Januari 2018 ini terjadi dua kali purnama, yakni pada tanggal 1 Januari yang lalu dan hari ini tanggal 31 Januari, dan beketepatan pula dengan peristiwa gerhana bulan,”.
Sementara Blood-moon, dikarenakan ketika terjadi pantulan gerhana bulan tersebut, sinar matahari terlapisi oleh atmosfir bumi sehingga tampakan dari bumi itu terlihat berwarna merah, orange, hitam pekat. “Kalau cuaca cerah memang warnanya terlihat seperti warna darah, makanya disebut dengan blood-moon,” jelasnya.
Sementara Prof Dr Nawir Yuslem MA, usai tampil sebagai imam shalat sunnah gerhana berjamaah dalam khutbahnya mengatakan, bahwa agama Islam tidak hanya mengajarkan tentang ritual ibadah dan etika semata. Selain berinteraksi dengan Tuhan dan manusia, Islam juga mengajarkan cara berhubungan dengan alam. Peristiwa alam dipandang sebagai wujud kebesaran Allah atas ciptaannya. “Salah satu fenomena alam yang mendapat perhatian dalam Islam adalah gerhana,” ujar Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut ini.
Gerhana,kata Nawir, merupakan fenomena kesejajaran bulan, bumi, juga matahari dalam satu orbit. Dari kesejajaran itu, cahaya dan penampakan dari bulan atau matahari akan hilang sementara. “Itulah yang disebut dengan gerhana,” jelasnya.
Sebagai wujud ketakjuban dan pengakuan kebesaran Allah SWT, maka disyariatkanlah shalat gerhana, atau yang biasa disebut shalat kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Menurut Nawir, shalat gerhana disyariatkan mulai pada tahun kedua hijriyah, tepatnya pada peristiwa gerhana matahari. Sedangkan syariat untuk shalat gerhana bulan adalah pada tahun kelima hijriyah.
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah satu tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak menjadi gerhana sebab matinya seseorang atau sebab hidupnya. Jika kalian melihat terjadinya gerhana, maka shalatlah dan berdoalah sampai tersingkap gerhana tersebut,” ungkapnya mengutip hadits Shahih al Bukhari dan Muslim.
Hadits tersebut, kata Nawir, menceritakan keadaan pasca meninggalnya putra Nabi Muhammad yang bernama Ibrahim, bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari. Orang-orang mencocok-cocokkan keadaan alam yang terjadi dengan peristiwa meninggalnya putra Nabi tersebut. Namun, kata Nawir, Nabi menyanggahnya. Rasulullah berusaha mengingatkan umat bahwa gerhana adalah fenomena alam biasa. “Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat diganti dengan ajaran untuk mensyukuri adanya gerhana itu dengan melaksanakan shalat dan menyemarakkan infaq dan shadaqah,” katanya.(*)