Dr. Amelia Usmaianti. Gadis cantik dengan tubuh mungil alumni Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ( FK UMSU ) menjadikan tanah Papua sebagai ladang pengabdiannya. Putri tertua Ir. Usman dan Harfah Delianti mejejakkan kakinya di Papua setahun lalu bersama enam orang rekannya melalui Progran Nusantara Sehat.
Program Nusantara Sehat merupakan program Kemenkes untuk memberikan advokasi dan pelayanan kesehatan di kawasan terpencil dengan sasaran utama menurunkan angka kematian ibu dan anak saat dan pasca melahirkan.
Tentu saja, ini bukan pengabdian yang mudah ditengah sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Belum lagi terbatasnya pemahaman penduduk pedalaman Papua akan kehidupan masyarakat yang sehat dan berkeadaban.
Mendapat tugas untuk menekan angka kematian dan meningkatkan kesadaran penduduk pentingnya kesehatan menjadi tugas penting yang mereka emban.
Dokter Amalia (28) tak pernah membayangkan akan masuk ke belantara Papua. “ Awalnya, saya membayangkan akan mendapat penugasan di NTT atau Kalimantan,” suara dokter muda itu perlahan ketika Waspada mengawali pembicaraan seputar awal pengabdiannya, di rumahnya di Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
Lulus dari FK UMSU tahun 2012, dr. Amelia sempat melakukan kerja bakti di RS Muyang Kute di Redelong Bener Meriah dan RS di Sidoarjo. Baru kemudian ia mengikuti program Nusantara Sehat.
Setelah lulus dalam program Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan, 2017 lalu, Amelia dan rekan-rekan paramedis dilatih sekitar 3 bulan di Jakarta untuk membekali tim menghadapi lahan pengabdian selama dua tahun.
Amalia menyampaikan penugasan pemerintah ke Papua kepada kedua orangtuanya yang bermukin di Redelong Simpang III, Kabupaten Bener Meriah. Amalia bersyukur, Ayah dan ibunya, memberi sprit kepadanya untuk tidak mundur.
Amalia dan enam temannya pun berangkat menuju Distrik Ninati, Kabupaten Boven Digul, Papua. Untuk sampai ke negeri yang berbatasan dengan Papua Nugin, Amelia harus melakukan perjalanan ekstra panjang dan melelahkan.
FASILITAS YANG TERBATAS
Rombongan sampai di Distrik Ninati, malam hari, Amalia dan rekan menemukan barak Puskesmas yang gelap karena tidak adanya listrik, tidak ada sinyal telepon, tidak ada air bersih dan fasilitas yang sangat terbatas. “ Inilah medan tugas yang harus Kami hadapi,” katanya menyemangati timnya.
Amelia sadar tugas dan tanggungjawab utama ada dipundaknya. Ia tak boleh lemah apalagi frustasi.
Sebagai mantan aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di FK-UMSU tentu saja pengalaman berorganisasi menjadi modal kuat baginya untuk siap menghadapi tantangan sekeras apapun.
Berbekal mie instan dan sarden kaleng sebagai menu utama, mereka mulai melakukan pemetaan tugas dan menggeluti kehidupan masyarakat Ninati yang masih terkebelakang.
Mereka mulai mengajari penduduk untuk hidup lebih bersih. Mengajari penduduk untuk tidak buang air besar disembarang tempat tapi di jamban atau menutupnya agar tidak menularkan penyakit. Mengajari bagaimana cara masak dan makan yang bersih. Sampai memotivasi perempuan hamil mau bersalin ke Puskesmas.
Selama ini, perempuan Papua selalu melahirkan di bivak, menyendiri di dalam hutan. Ini lah persoalan utama, menghadapi tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Penduduk Ninati, masih memiliki keyakinan yang kuat akan dukun adat yang mengandalkan mantra dan ramuan dari dedaunan.
PENDEKATAN HATI
Amalia menyadari tugas ini tidak bisa diselesaikan seperti membalikkan tangan. Butuh waktu dan pendekatan hati. Untuk itulah Amalia dan kawan-kawan melakukan pendekatan hati yakni program “jemput bola” dengan mendatangi penduduk ke rumahnya agar komunikasi bisa berlangsung baik.
Terkadang ada penduduk yang sakit langsung mereka datangi tanpa menunggu mereka datang ke Puskesmas.
Cara ini sangat efektif. Penduduk mulai mau bertanya dan mendengarkan nasehat mereka. Mereka pun mulai terbuka dan menyampaikan keluhannya.
Cara lain adalah melakukan pendekatan keagamaan lewat pastor atau pemimpin agama yang ada di distrik. Amalia menitipkan berbagai pesan lewat pastor yang menyampaikan pesan ritual.
Setahun di sana, akhirnya Amalia mulai betah. Ia sudah punya orang tua angkat. Dukun adat yang biasanya sangat dominan dan kurang bersahabat kini mulai bisa diajak bekerjasama. Pengunjung Puskesmas pun tak pernah sepi. Kunjungan ke rumah penduduk untuk melakukan advokasi semakin sering mereka lakukan walaupun cara ini tidak mudah karena kawasan distrik Ninati sangat luas.
Pemukiman penduduk harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 10 km dengan ruas jalan berlumpur atau menggunakan sampan dengan ancaman binatang buas.
“ Akhirnya hati kami tertaut juga di sini. Kami sayang ke mereka yang begitu membutuhkan pertolongan dan layanan kesehatan dengan baik,” kata Amalia.
“Papua, Aku akan kembali,” Suara dokter Amalia yang bermimpi Papua akan menjadi negeri yang makmur, terdengar lirih disapu hujan dan kabut dingin saat wawancara dengan dokter muda itu kami akhiri.