Maraknya praktek mafia peradilan pada sistem hukum di Indonesia dalam beberapa tahun ini menandakan bahwa telah terjadi aksi pelecehan dan penguburan nilai-nilai hukum yang beresensi kebenaran dan keadilan. Hal ini disampaikan langsung oleh Bambang Irawan, SH dalam ceramahnya pada kegiatan diskusi publik dan sosialisasi kelembagaan Komisi Yudisial RI di Aula Penjamin Mutu UMSU, Senin (14/12).
“Di tengah situasi tersebut kita berharap fakultas-fakultas hukum di seluruh universitas dapat merevitalisasikan kembali perananya sebagai lembaga yang nantinya dapat menghasilkan kader-kader penegak hukum yang progresif, reformis dan visioner,” ujarnya.
Menurut Bambang, untuk dapat merealisasikan harapan tersebut dibutuhkan metode pendidikan yang dapat mengakomodasi tiga target penting dalam proses pendidikan hukum yaitu; penguasaan aspek pengetahuan, aspek keterampilan hukum dan penghayatan serta pengalaman aspek nilai dan moral hukum.
“Selama ini kita bisa melihat bagaimana mahasiswa yang baru masuk fakultas hukum sangat konsen pada persoalan hukum dan keadilan. Tetapi pada akhirnya mereka berubah menjadi ‘moster-moster’ dalam profesi yang mereka emban. Ketika mereka menjadi polisi, jaksa, hakim dan pengacara mereka sangat mahir memanipulasi konsep keadilan dengan bekal penguasaan ilmu hukum yang mereka miliki. Pada titik inilah aspek nilai dan moral hukum menjadi hilang,” tegas pria yang merupakan PIC Pemantau Penghubung Komisi Yudisial R.I ini.
Selanjutnya Bambang menanbahkan, pendidikan hukum idealnya mampu mengajarkan bagaimana hukum materil dan hukum formil diterapkan dalam konstruksi pilihan dokrin hukum dan yurisprudensi yang relevan dengan objektivitas legal case-nya.
“Dari hal ini kita akan melihat apakah hakim, jaksa, dan advokat bekerja dalam bingkai etika profesi atau menabraknya? Sebab selama ini pengajaran hukum lebih didominasi oleh cara pembelajaran yang teknologis dari pada bersifat kemanusiaan dan keadilan. Model pembelajaran teknologis tersebut lebih menekankan pada pembinaan keterampilan professional, dampaknya aspek kemanusiaan dan keadilan yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan,” ujarnya.
Untuk itu Komisi Yudisial kata Babang, mengajak kampus melakukan revitalisasi peran strategisnya melalui re-orientasi pendidikan hukum yang kritis, progresif dan visioner.
“Dengan demikian akan lahir hakim yang tidak sekedar sebagai condong undang-undang (legalistic formal) tetapi hakim yang mampu menerobos kebuntuan dan menemukan hukum untuk menegakkan keadilan secara subtantif di negeri ini,” pungkasnya.
Sementara itu, Kordinator Penghubung Komisi Yudisial RI untuk wilayah Sumut, Syah Rijal Munthe, SH yang juga hadir sebagai pembicara, menambahkan peran penting Komisi Yudisial dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa harus juga didukung oleh peran serta masyarakat khususnya kalangan mahasiswa yang bertindak sebagai agent of change.
“Sebab semakin baik aparatur penegak hukum dalam menerapkan subtansi dan budaya hukum maka peradilan bersih dapat segera terwujud. Dan itu membutuhkan dukungan dan peran serta masyarakat khususnya lembaga-lembaga masyarakat yang selalu berhubungan dengan hukum,” jelasnya.
Seperti diketahui diskusi publik dan sosialisasi ini diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Sumut bekerjasama dengan IMM Cabang Medan dan Fakultas Hukum UMSU dalam rangka menyambut hari anti korupsi se-dunia.
Diskusi dibuka langsung oleh Wakil Dekan I FH UMSU UMSU Faisal Adang M.Hum dan dihadiri Ketua IMM Kota Medan Welly Susanto. Dalam sambutannya, Faisal mengucapkan terimakasih kepada IMM karena seluruh civitas akademis FH, atas digelarnya diskusi tersebut. (*)